Darso sejarah fenomena seni musik sunda khususnya jawa barat,
Darso musisi tanah sunda yang fenomena.

Baca juga : jiwa kepemimpinan kades bertato kades oho
Baca juga : TRAGEDI1998 JILID 2 TAHUN 2025 #IND0NESIA GELAP
Baca juga : Kreatifitas orasi anak STM bengkel sampai DPR
Baca juga : Film di Handphone Seru Tapi Perlu Bijak
Dalam sejarah musik Sunda modern, nama Darso atau lengkapnya Hendarso merupakan salah satu sosok yang tidak bisa dilewatkan. Ia bukan hanya seorang penyanyi dan pencipta lagu, tetapi juga seorang inovator yang berhasil memadukan musik tradisional Sunda dengan warna modern. Sosoknya dikenal eksentrik di panggung, penuh energi, namun tetap rendah hati di kehidupan sehari-hari. Tak heran jika masyarakat menjulukinya sebagai “Raja Pop Sunda”. Artikel ini akan mengulas secara detail perjalanan hidup, karier, gaya bermusik, hingga warisan budaya yang ditinggalkan Darso.
Awal Kehidupan dan Perjalanan Musik
Darso lahir di Bandung pada 12 Agustus 1945, tepat di masa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Bakat seninya sudah terlihat sejak kecil. Ia mulai terjun ke dunia musik secara profesional pada tahun 1962 sebagai pemain bas di grup musik Nada Karya dan Nada Kencana. Di masa itu, Darso juga pernah bergabung dengan grup musik milik Pusat Persenjataan Kavaleri Bandung.
Namun, karier awalnya sempat terhenti akibat situasi politik pasca peristiwa G30S/PKI tahun 1965. Banyak aktivitas seni mengalami pembatasan, termasuk kelompok musik yang digeluti Darso. Meski demikian, kecintaannya pada musik tidak pernah padam.
Pada tahun 1968, Darso kembali bangkit dengan dukungan kakaknya, Uko Hendarso, yang juga seorang seniman. Bersama sang kakak, Darso menemukan terobosan besar dalam musik Sunda: menggabungkan calung—alat musik tradisional bambu—dengan format musik pop yang lebih modern.

Popularitas dan Karya-Karya Fenomenal
Pada akhir 1970-an hingga 1990-an, Darso mencapai puncak popularitas. Ia sering tampil di RRI dan kemudian di layar TVRI, sehingga namanya dikenal luas tidak hanya di Jawa Barat, tetapi juga di tingkat nasional.
Beberapa karya yang sangat populer di antaranya:
- “Kembang Tanjung” – lagu bernuansa melankolis yang menjadi ciri khas Darso.
- “Cangkurileung” – merefleksikan filosofi hidup orang Sunda dengan lirik sederhana namun dalam.
- “Panineungan” – lagu nostalgia yang kerap dinyanyikan ulang generasi setelahnya.
- “Randa Geulis” – menampilkan gaya humor khas Darso.
- “Maribaya” – terinspirasi dari daerah wisata terkenal di Bandung.
- “Kabogoh Jauh” – kisah cinta jarak jauh dengan sentuhan jenaka.
- “Dina Amparan Sajadah” – lagu religi yang menunjukkan spiritualitas Darso.
Selain itu, hampir semua karyanya menggunakan bahasa Sunda murni, yang menjadi sarana pelestarian bahasa dan budaya Sunda di tengah arus globalisasi.
Gaya Panggung dan Karakter Unik
Salah satu hal yang membuat Darso menonjol adalah gaya panggungnya yang eksentrik. Ia kerap mengenakan jas dengan warna mencolok, kacamata hitam, dan rambut gondrong. Gerakannya di panggung energik, kadang-kadang menjulurkan lidah, sehingga banyak orang menjulukinya “Michael Darso”, merujuk pada kemiripannya dengan gaya Michael Jackson.
Meski tampil penuh gaya di panggung, Darso terkenal rendah hati di kehidupan nyata. Ia sering tampil di acara hajatan kampung tanpa mematok bayaran tinggi, bahkan ada kalanya rela tidak dibayar jika pengundangnya adalah masyarakat kurang mampu. Ia selalu menekankan bahwa doa dan kebahagiaan penonton jauh lebih berharga daripada materi. Sikap sederhana inilah yang membuatnya dicintai lintas generasi.
Penghargaan dan Pengakuan
Atas dedikasinya, Darso menerima sejumlah penghargaan, di antaranya:
- Anugerah Musik Jawa Barat (2005).
- Anugerah Budaya Kota Bandung (2009).
Namun bagi Darso, penghargaan terbesar justru adalah ketika karyanya dinyanyikan kembali oleh masyarakat, atau ketika calung—alat musik tradisi yang ia populerkan—terus dimainkan oleh generasi muda.
Akhir Hayat
Pada 12 September 2011, Darso menghembuskan napas terakhir di usia 66 tahun setelah sempat dilarikan ke RSUD Soreang, Kabupaten Bandung. Ia kemudian dimakamkan di kampung halamannya, Cibisoro, Gandasoli, Katapang, Kabupaten Bandung. Kepergiannya meninggalkan duka mendalam bagi penggemar, musisi, dan masyarakat Sunda.
Namun, warisannya tetap hidup. Lagu-lagunya masih diputar di berbagai kesempatan, dari radio tradisional hingga platform digital. Banyak grup musik Sunda modern yang menjadikan Darso sebagai inspirasi.