Kisah Perjuangan Perempuan Betawi yang Hidup dalam Sebuah Tarian Tradisi

Tarian yang Lebih dari Sekadar Hiburan

Banyak yang mengenal budaya Betawi dari ondel-ondel, lenong, atau kerak telor. Tapi tak banyak yang tahu bahwa di balik salah satu bentuk kesenian tradisionalnya—tarian Betawi—tersimpan cerita tentang perjuangan perempuan yang selama ini jarang terdengar.

Dalam komunitas Betawi lama yang masih konservatif, perempuan memiliki ruang gerak yang terbatas. Namun lewat seni tari, mereka menemukan media ekspresi, sekaligus cara halus menyuarakan suara dan kehendak yang selama ini terbungkam.


Lenggang Nyai: Antara Kebebasan dan Pemberontakan

Salah satu tarian yang paling sarat makna adalah Lenggang Nyai. Sekilas, tarian ini terlihat luwes dan indah. Tapi jika ditelusuri lebih jauh, ia lahir dari kisah nyata Nyai Dasimah, seorang perempuan Betawi yang berani mengambil keputusan besar dalam hidupnya: meninggalkan suami Belanda-nya demi memilih hidup sesuai hati nurani.

Tarian ini tidak hanya menggambarkan keluwesan tubuh, tapi juga simbol kebangkitan. Gerakannya mencerminkan pergolakan batin, keputusan yang berat, hingga rasa percaya diri untuk berdiri sebagai perempuan yang merdeka.

Dalam narasi budaya Betawi yang didominasi nilai maskulin, kehadiran tarian ini jadi semacam perlawanan diam—menunjukkan bahwa perempuan juga bisa memilih jalan hidupnya sendiri, dengan elegan dan bermartabat.


Para Penari Tradisional: Di Antara Tradisi dan Stigma

Perjalanan perempuan Betawi sebagai penari tidak selalu mudah. Dalam beberapa dekade terakhir, mereka harus menghadapi stigma sosial, dicap sebagai penghibur atau bahkan dianggap menyimpang dari norma.

Padahal, banyak dari mereka justru adalah penjaga warisan budaya yang otentik. Lewat latihan rutin, disiplin panggung, hingga konsistensi tampil dari panggung kecil ke festival nasional, mereka menjaga agar identitas Betawi tidak hilang tertelan zaman.

Salah satu penari senior asal Condet bercerita:

“Menari bukan cuma soal pentas. Ini cara saya bicara tentang Betawi, tentang saya sebagai perempuan, tanpa harus teriak.”


Transformasi dan Regenerasi

Kini, semakin banyak komunitas muda yang mulai sadar akan nilai-nilai perjuangan perempuan di balik tarian Betawi. Beberapa sanggar mulai menyisipkan narasi sejarah dalam pelatihan mereka, bahkan mengemas ulang pertunjukan tradisional agar bisa lebih diterima generasi sekarang.

Lewat pendekatan visual yang modern, cerita-cerita seperti Nyai Dasimah, penari topeng, hingga kisah ibu-ibu Kampung Sawah yang melestarikan tari Cokek bisa diangkat kembali—tidak hanya sebagai atraksi, tapi sebagai pernyataan budaya dan identitas gender.


Gerakan yang Bersuara

Tarian Betawi bukan hanya tentang gerakan, kostum, atau iringan musik tanjidor. Ia adalah bahasa tubuh yang menyimpan keresahan, keberanian, dan keteguhan perempuan-perempuan Betawi dalam menjaga martabatnya di tengah keterbatasan sosial dan sejarah panjang patriarki.

Dengan terus dikenalkan, ditonton, dan dihargai, tarian-tarian ini bukan hanya hidup di panggung. Ia akan terus menyuarakan bahwa dari sebuah gerakan, bisa lahir perjuangan yang tak kalah nyaring dari kata-kata.

loopersc.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *