
Isu hak cipta di industri musik Indonesia kembali menjadi sorotan publik pada tahun 2025. Sejumlah musisi papan atas yang tergabung dalam organisasi Vibrasi Suara Indonesia (VISI) secara resmi mengajukan uji materiil Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta ke Mahkamah Konstitusi (MK). Langkah ini bukan sekadar gugatan formal, melainkan cerminan keresahan panjang musisi terhadap praktik perizinan, royalti, dan perlindungan hukum dalam dunia pertunjukan musik.
VISI yang beranggotakan 29 musisi di antaranya Ariel (NOAH), Armand Maulana, Raisa, Rossa, Judika, Andien, Once Mekel, hingga Lesti Kejora menilai terdapat norma yang multitafsir dalam UU Hak Cipta. Norma ini dianggap mengancam kebebasan berekspresi sekaligus menimbulkan ketidakpastian hukum dalam ekosistem musik. Mereka menegaskan, tujuan utama langkah hukum ini adalah menghadirkan keadilan dan kepastian hukum bagi seluruh pihak—pencipta, penyanyi, maupun pelaku usaha pertunjukan.
Sejak diberlakukannya UU No. 28 Tahun 2014, para musisi mulai menghadapi persoalan pelik terkait performing rights (hak pertunjukan). Penyanyi yang membawakan lagu ciptaan orang lain dituntut untuk meminta izin langsung kepada pencipta atau melalui lembaga manajemen kolektif. Ketentuan ini menimbulkan beberapa persoalan praktis : Penyanyi atau performer seringkali tidak tahu apakah izin sudah diurus oleh promotor, EO, atau pengelola tempat.
Tanggung jawab pembayaran royalti menjadi kabur—apakah itu kewajiban penyanyi, promotor, penyelenggara acara, atau platform digital?
Dualisme lembaga pengelola royalti (LMK dan LMKN) menambah kebingungan karena aturan yang tumpang tindih.
Ancaman pidana bagi yang dianggap melanggar ketentuan hak cipta menimbulkan rasa takut bagi musisi yang hanya berniat tampil.
Bagi penyanyi, situasi ini sangat menekan. Mereka kerap menerima somasi atau ancaman hukum meski hanya menyanyikan lagu yang dulu pernah mereka populerkan.
Empat Pertanyaan Kunci VISI Dalam permohonannya ke MK, VISI merumuskan empat poin gugatan utama: Apakah penyanyi wajib mendapatkan izin langsung dari pencipta lagu untuk rights pertunjukan?
VISI menilai sistem ini terlalu membebani performer. Penyanyi seharusnya cukup memastikan EO atau promotor telah menyelesaikan izin melalui LMKN.
Siapa yang wajib membayar royalti performing rights?
Menurut VISI, ketentuan saat ini tidak jelas. Dalam praktik internasional, biasanya penyelenggara acara yang menanggung kewajiban ini, bukan penyanyi.
Apakah tarif royalti dapat ditetapkan pihak lain di luar LMKN dan regulasi pemerintah?
Hal ini berpotensi menciptakan monopoli dan ketidakadilan karena setiap pihak bisa menetapkan standar berbeda.
Jika terjadi wanprestasi dalam pembayaran royalti, apakah termasuk ranah pidana atau perdata?
VISI menilai perjanjian royalti semestinya masuk ranah perdata (kontrak), bukan pidana yang menjerat musisi dengan ancaman hukum berlebihan.
Proses Persidangan di Mahkamah Konstitusi
Permohonan uji materi VISI masuk ke MK pada 10 Maret 2025. Sidang perdana digelar pada April 2025 dan dipimpin langsung oleh Wakil Ketua MK, Saldi Isra. Dalam sidang itu, kuasa hukum VISI, Joshua Prasetyo, menyampaikan bahwa norma yang multitafsir dalam UU Hak Cipta membuat musisi “takut untuk tampil” karena ancaman pidana.Selanjutnya, MK menerima perbaikan permohonan VISI beserta bukti permohonan P-1 hingga P-106 pada awal Mei 2025. Permohonan ini kemudian terdaftar dengan Nomor Perkara 28/PUU-XXIII/2025 dan 37/PUU-XXIII/2025.
Pada 22 Juli 2025, sidang pleno lanjutan digelar. Dalam momen ini, MK menghadirkan musisi sebagai saksi. Sammy (eks Kerispatih) dan Lesti Kejora tampil memberikan kesaksian.
Sammy mengungkap pernah dilarang menyanyikan lagu-lagu Kerispatih yang ia populerkan, kecuali jika membayar royalti tambahan. Padahal lagu-lagu tersebut sangat melekat dengan identitas kariernya.
Lesti Kejora menceritakan pengalaman pahit menerima somasi setelah menyanyikan lagu ciptaan orang lain dalam sebuah acara. Video penampilannya diunggah ke YouTube, lalu dianggap sebagai pelanggaran hak cipta. Ia merasa ancaman pidana terhadap hal tersebut sangat tidak adil.
Menariknya, Ketua MK Suhartoyo bahkan meminta para musisi melantunkan lagu ciptaan mereka sendiri di ruang sidang simbol bahwa karya asli musisi seharusnya bebas dari persoalan hukum.
Argumen Konstitusional : VISI berpegang pada Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 tentang hak atas kepastian hukum dan Pasal 28G ayat (1) tentang perlindungan dari ancaman. Mereka menilai, jika UU Hak Cipta dibiarkan tanpa revisi, musisi akan selalu berada dalam posisi rentan: takut dituntut, ragu tampil, dan terkekang dalam berekspresi. VISI berpegang pada Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 tentang hak atas kepastian hukum dan Pasal 28G ayat (1) tentang perlindungan dari ancaman. Mereka menilai, jika UU Hak Cipta dibiarkan tanpa revisi, musisi akan selalu berada dalam posisi rentan: takut dituntut, ragu tampil, dan terkekang dalam berekspresi : Performer tidak wajib izin langsung selama EO sudah mengurus lisensi.
Royalti dibebankan kepada penyelenggara acara, bukan penyanyi.
Tarif royalti hanya boleh ditentukan LMKN berdasarkan aturan pemerintah.
Sengketa royalti adalah perdata, bukan pidana.
Apabila MK mengabulkan permohonan VISI, akan ada dampak besar : Kepastian hukum lebih jelas bagi musisi, sehingga mereka dapat tampil tanpa rasa takut.
Perlindungan pencipta tetap terjamin karena EO atau promotor tetap wajib membayar royalti melalui LMKN.
Pengelolaan royalti lebih tertib, mengurangi potensi tumpang tindih lembaga.
Ekosistem musik lebih sehat, dengan kolaborasi yang adil antara pencipta dan performer.
Sebaliknya, jika gugatan ditolak, persoalan multitafsir akan terus menghantui musisi, dan potensi kriminalisasi penyanyi bisa berlanjut.
baca juga : lebih dekat yellow wall ultras dortmund
baca juga : lebih dekat K-Conk Mania Suporter Madura
baca juga : Mengenal dekat brigata curva sud sleman
Uji materi UU Hak Cipta oleh VISI ke MK menjadi titik penting dalam perjalanan panjang musisi Indonesia mencari kepastian hukum. Persidangan ini bukan hanya soal tarif royalti atau izin menyanyi, melainkan tentang hak konstitusional seniman untuk berkarya tanpa rasa takut.
VISI mengingatkan bahwa musik adalah ekspresi budaya yang tidak boleh dibelenggu oleh ketidakjelasan aturan. Putusan MK nantinya akan menjadi preseden penting, apakah Indonesia mampu menyeimbangkan perlindungan pencipta dengan kebebasan performer. Jika berhasil, ekosistem musik tanah air akan lebih adil, transparan, dan kondusif bagi pertumbuhan industri kreatif nasional.
